Cari Blog Ini


Kamis, 27 Maret 2025

Oziel si Bocah Cerdas: Kelahiran Yang Luar Biasa (Bagian 6)

Bagian 6: Kebangkitan Kekuatan Terlarang

Terowongan itu menyempit seperti tenggorokan raksasa yang sedang menelan mereka hidup-hidup. Dinding basahnya mengeluarkan tetesan air yang jatuh satu-satu, bunyinya bergema seperti detak jam kematian. Setiap langkah mereka mengganggu debu-debu kuno yang langsung menari liar di sinar kristal biru pucat yang menyala-nyala di dinding, seolah ribaan mata tak kasat mata sedang mengawasi pergerakan mereka.

Lina merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Oziel dalam gendongannya tiba-tiba menggeliat, tubuh mungilnya tegang seakan merasakan sesuatu yang tak bisa mereka lihat. Cahaya keemasan dari mata anak itu memancar semakin terang, menyapu dinding terowongan dan mengungkap ukiran-ukiran kuno yang selama ini tersembunyi - gambar anak-anak dengan mata bersinar yang dirantai, disembah, atau... dikorbankan.

"Arman..." Lina menggenggam erat tangan suaminya, suaranya bergetar. "Lihat ini. Gambar-gambar ini..."

Arman mengerutkan kening saat menelusuri ukiran dengan jarinya. Tiba-tiba, kristal biru di dekatnya menyala lebih terang, memproyeksikan bayangan mengerikan di dinding - bayangan mereka sendiri yang terdistorsi, dengan Oziel mengambang di atas sesuatu yang menyerupai altar.

Penjaga tertua menarik napas tajam. "Itu bukan ramalan," bisiknya, suaranya parau. "Itu peringatan."

Oziel tiba-tiba menjerit, suaranya bergema di sepanjang terowongan seperti bel peringatan. Cahaya dari matanya meledak, menerpa kristal-kristal di dinding yang satu per satu mulai retak. Dari celah-celah retakan itu, zat cair merah tua merembes keluar, mengalir membentuk pola seperti pembuluh darah di dinding batu.

"Darah...?" Lina terisak, menekan Oziel lebih erat ke dadanya yang berdebar kencang.

"Bukan darah," sang Penjaga berbisik ngeri. "Ingatan. Ingatan gua ini."

Tiba-tiba tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat. Dari kegelapan di depan, suara desisan panjang menggema, diikuti oleh sorot mata merah menyala yang mendekat dengan cepat. Ular naga penunggu muncul dengan sisik-sisiknya yang berkilauan dalam cahaya kristal, tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda. Di dahinya, simbol yang sama dengan yang ada di mata Oziel kini bercahaya merah darah.

"Penunggu telah dipanggil," teriak salah satu Penjaga. "Dia datang untuk mempersiapkan jalan!"

Ular itu mendesis, mengeluarkan semburan asap dari lubang hidungnya yang membentuk bayangan-bayangan bergerak - adegan-adegan pembantaian, ritual, dan... seorang bayi dengan mata keemasan yang sedang diangkat oleh sosok-sosok bertopeng di atas gunung berapi yang sedang meletus.

Lina menjerit kecil ketika bayangan terakhir itu menyentuh kulitnya, meninggalkan rasa panas seperti besi membara. "Apa artinya semua ini?"

Sebelum ada yang bisa menjawab, ledakan dahsyat mengguncang terowongan dari belakang. Batu-batu berjatuhan dan suara Dr. Sari yang penuh kemenangan bergema:

"KAMI DATANG UNTUK ANAK ITU!"

Di tengah kekacauan yang semakin menjadi, Oziel tiba-tiba mengangkat tangannya yang mungil ke arah ular naga. Cahaya keemasan dari jarinya menyatu dengan cahaya merah di dahi makhluk itu, menciptakan portal berputar di depan mereka yang memancarkan daya tarik aneh.

"Pintu...?" Arman terkesiap.

"Bukan pintu," sang Penjaga tertua menjawab dengan wajah pucat. "Mulut. Mulut Merapi."

Dan dengan desisan terakhir, ular naga itu menerjang ke depan, membuka jalan menuju teror yang tak terbayangkan di Ruang Pemurnian...

"Tidak...jauh...lagi..." suara Penjaga tertua terpotong-potong, bergema seperti gema dari dunia lain di lorong sempit itu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengeluarkan asap putih di udara dingin, seolah napasnya saja mengandung sihir kuno.

Arman merasakan bulu kuduknya berdiri. "Ruang apa?" tanyanya, suaranya parau. Tangannya tanpa sadar meraih pisau belatinya.

KRAAAK!

Tanah di bawah mereka bergetar dahsyat seakan gunung itu sendiri sedang bangun dari tidur panjang. Kerikil dan debu berjatuhan dari langit-langit, membentuk pola aneh di tanah seperti tulisan kuno yang tak terbaca. Ular naga penunggu tiba-tiba mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, mata merahnya menyala seperti bara api di kegelapan. Dari mulutnya keluar desisan yang membuat kristal-kristal di dinding bergetar dan... bernyanyi dalam nada-nada tinggi yang menyayat jiwa.

"Penunggu tahu..." bisik seorang Penjaga muda, wajahnya pucat seperti mayat. "Bulan purnama... Dia...DIA datang!"

Lina merasakan darahnya membeku. Oziel di gendongannya tiba-tiba menjadi panas seperti bara, pakaian bayi itu mulai mengeluarkan asap. "Apa maksudmu 'dia'? Siapa yang—"

BOOOOOM!

Ledakan maha dahsyat mengguncang terowongan. Udara tiba-tiba tersedot ke belakang mereka, disusul gelombang panas yang membuat kulit terasa terbakar. Dari kejauhan, suara Dr. Sari yang sudah tak manusiawi lagi bergema:

"KAMI TAHU KALIAN DI SANA! ANAK ITU MILIK KAMI! BERIKAN DIA... ATAU MATI BERSAMA GUNUNG INI!"

Ular naga penunggu mendesis keras, tubuhnya yang sebesar pohon kelapa tiba-tiba bergerak dengan kecepatan tak wajar. Sisik-sisiknya terbuka, mengeluarkan ratusan... tangan manusia kecil yang meraih-raih udara. Para Penjaga berteriak dalam bahasa kuno sambil menarik Arman dan Lina.

"LARI! CEPAT! SEBELUM SEGALANYA TERLAMBAT!"

Mereka berlari melalui terowongan yang kini berubah menjadi mimpi buruk hidup. Dinding-dindingnya berdenyut seperti organisme hidup, mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Tanah di bawah kaki mereka berubah menjadi seperti daging, lengket dan hangat.

Dan tiba-tiba... mereka sampai.

Ruangan itu terbuka seperti raksasa yang membuka mulutnya. Kubah raksasa itu dipenuhi oleh ribuan tengkorak tersusun rapi, mata-soket mereka bercahaya biru. Di tengah ruangan, kolam lava biru mendidih dengan suara seperti ribuan orang berteriak dalam kesakitan. Tujuh pilar batu di sekelilingnya mengeluarkan cahaya ungu, menuliskan huruf-huruf berdarah di udara.

"Ini..." Lina tersedu, lututnya gemetar. "Ini bukan ruangan... ini... mulut neraka."

Penjaga tertua menjatuhkan diri, menyembah kolam lava. "Ruang Pemurnian. Tempat dimana Anak Cahaya... akan dimakan hidup-hidup."

Arman menarik pedangnya. "APA?!"

Tapi sudah terlambat. Oziel tiba-tiba terlempar dari gendongan Lina, tubuh kecilnya mengambang di udara. Cahaya dari matanya meledak, membentuk sayap-sayap api di punggungnya. Suaranya yang polos tiba-tiba berubah menjadi paduan suara mengerikan:

"AKU... DATANG..."

Cahaya bulan purnama yang masuk melalui lubang di langit-langit berubah menjadi merah tua, membentuk pilar darah yang menyatu dengan Oziel. Kolam lava biru mulai bergejolak ganas.

Sploosh!

Dari dalam lava, sesuatu muncul. Pertama tangan - besar, berkulit lava, dengan kuku-kuku panjang seperti pisau. Lalu tubuh... tubuh yang dipenuhi mata berkedip. Dan terakhir... wajah.

"ROH MERAPI..." Para Penjaga menjerit bersama, darah mengalir dari mata dan telinga mereka. "ENGKAU BANGUN!"

Wajah itu tersenyum, mulutnya terbuka menampilkan gigi-gigi runcing berdarah. Suaranya mengguncang jiwa:

"ANAK CAHAYA... AKHIRNYA KAU MEMENUHI JANJIMU."

Oziel mengangkat tangan kecilnya, tapi yang keluar adalah cakar bersisik biru. Suara ribuan orang keluar dari mulutnya:

"AKU... SIAP... BERALIH..."

Lina menjerit histeris ketika melihat kulit Oziel mulai mengelupas, mengungkap sesuatu yang... bukan bayi di dalamnya. "APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ANAKKU?!"

Roh Merapi memandang Lina, matanya penuh lapar. "WANITA... DARAHMU... AKAN MEMBUKA GERBANG TERAKHIR."

Arman melompat, tapi tubuhnya tiba-tiba terbakar oleh cahaya dari pilar-pilar. Penjaga tertua menarik Lina dengan cakar berdarah:

"Kau adalah Kunci! Darah Penjaga terakhir!"

Roh Merapi mengangkat tangannya. Dari kolam lava muncul dua benda - mahkota dari tulang manusia yang masih berdarah, dan pisau dari kristal merah berdenyup seperti jantung.

"PILIHAN DIBERIKAN," gemuruhnya. "SATU AKAN MENJADI RAJA... SATU AKAN MENJADI KORBAN..."

BOOM! Dr. Sari dan pasukannya masuk, wajah mereka sudah setengah meleleh. "KAMI DATANG UNTUK KEKUATAN ITU!"

Oziel (atau apapun yang ada di dalam kulitnya) menjerit kesakitan, tubuhnya mulai terbuka seperti kuncup bunga mengerikan.

Lina menangis darah. "ARMAN! SELAMATKAN DIA!"

Arman mengambil pisau dengan tangan yang sudah setengah menjadi batu. "AKU... AKAN..."

Tapi Penjaga tertua menjerit: "TIDAK! HANYA DARAH IBUNYA YANG—"

STAB! Arman sudah menikam pisau itu ke dadanya sendiri. Darahnya meledak keluar, membentuk sungai merah di udara yang langsung diserap Oziel.

Roh Merapi tertawa. "RITUAL... DITERIMA!"

Cahaya putih panas memenuhi ruangan. Lina melihat dengan ngeri saat:

  • Arman meleleh seperti lilin

  • Dr. Sari dan pasukannya meledak menjadi awan darah

  • Oziel... Oziel membuka mulutnya hingga mencakup setengah ruangan

Ketika cahaya mereda, yang tersisa hanya:

  • Lina yang berlumuran darah

  • Para Penjaga yang sudah menjadi tumbuhan aneh

  • Dan... sesuatu yang berdiri di tengah ruangan dengan memakai kulit Oziel

Sesuatu itu tersenyum, menunjukkan gigi-gigi runcing. "AKU... BANGKIT..."

------------------------------

"Ketika kulit terakhir terkelupas, dan kebenaran terungkap - siapakah sebenarnya Oziel? Mengapa Roh Merapi menyembahnya? Dan mengapa bulan di langit tiba-tiba mulai... berdarah? Saksikan kelanjutan kisah yang akan mempertanyakan segala yang kau ketahui tentang kebaikan dan kejahatan dalam 'Kebangkitan Sang Penakluk'!"

Teaser Gila-gilaan untuk Bagian 7:

  • Kebenaran yang lebih mengerikan dari yang bisa dibayangkan

  • Lina harus membuat pakta dengan musuh bebuyutan

  • Arman... tidak benar-benar mati?

  • Dan siapakah "Mereka" yang sedang dalam perjalanan ke gunung ini?

Bersambung...



Fadllan Achadan

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar menggunakan bahasa yang baik dan sopan :-)